Senin, 23 November 2009

KANTIN KEJUJURAN DAN SERTIFIKASI GURU

Tahun lalu di salah satu SD di Kota Malang diresmikan sebuah "Kantin Kejujuran", oleh Wali Kota dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang. Peresmian ini dilaksanakan bersamaan dengan "Hari Anti Korupsi". Tentunya moment ini dipilih bukan tanpa maksud dan tujuan. Barangkali dengan dibukanya kantin kejujuran akan memberi dampak positif bagi masa depan anak-anak yang apabila dikemudian hari jadi pemimpin tidak akan korupsi karena sudah dilatih dalam kawah "Kantin Kejujuran". Begitu barangkali harapan Bapak Wali Kota dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang.
Pertanyaannya adalah : Untuk siapa kejujuran itu? Untuk siswa, guru, penjaga sekolah, kepala sekolah, penjaga kantin, atau untuk siapa? Kejujuran bukan hanya milik seseorang, tetapi kejujuran adalah sesuatu yang universal, semua agama pun mengajarkan kejujuran.Hanya permasalahannya adalah, sekarang ini kita miskin contoh, miskin teladan. Kejujuran hanya sebatas pidato, seminar, spanduk yang menina bobokan anak bangsa ini. Yang terpenting adalah satunya kata dan perbuatan. Ketika kita bicara kejujuran, pertanyaannya adalah : " Sudahkah kita sendiri jujur ?"
Terlalu banyak korban ketidak jujuran di negeri ini. Sulit sekali mencari orang yang jujur pada saat ini, padahal kejujuran adalah pangkal kemakmuran, makin jujur seseorang. Carut marutnya keadaan bangsa ini, salah satu sebabnya adalah ketidak jujuran. Kejujuran tidak terkait dengan gelar yang banyak, status sosia dsb, tetapi kejujuran terkait dengan hati dan iman.
Salah satu korban ketidak jujuran adalah "Sertifikasi", yang menjadi "agama" baru bagi guru. Segala usaha dikerahkan agar dapat mengikuti sertifikasi demi mengejar tunjangan profesi. Demi mengejar itu semua, banyak ditemukan data-data palsu hasil rekayasa guru yang ingin lolos sertifikasi tadi.Dimana "kantin kejujuran" itu ?
Teori mewajibkan bahwa yang sudah lulus sertifikasi wajib bertatap muka dengan murid minimal 24 jam. Untuk guru SD yang banyak menggunakan sistim guru kelas, tentunya banyak yang masuk kualifikasi itu. Tapi pernahkah kita membicarakan bagaimana kualitas tatap muka dengan murid itu? Kemudian ada berita yang mengatakan bahwa wali murid berhak mengawasi guru yang sudah sertifikasi dalam proses belajar mengajarnya. Terlepas dari bagaimana teknisnya wali murid mengawasi guru, kalimat " wali murid berhak mengawasi" ini menandakan bahwa disitu terletak ketidak jujuran. Kalau jujur kan tidak perlu diawasi.
Kita sering terjebak kepada angka-angka ( kuantitas ) tapi jarang bicara kualitas, kita hanya bicara konseptual, tapi tidak pernah bicara kontekstual. Kita tidak dituntut untuk memperluas kuantitas, tapi kita diminta untuk memperhatikan kwalitas ( Q.S.67.2 ). Kehidupan bisa jadi bermakna bila kita memberikan kontribusi besar yang memaksimalkan potensi baik ( Ahsanu 'amalaa ) pada kinerja kita.
Nah...akhirnya ..Jujurlah pada diri sendiri, mulailah dari sekarang.

Senin, 09 Februari 2009